Skripsi, Publikasi Jurnal: Salah Kaprah fungsi Universitas
Menanggapi Kebijakan baru Kemendikbudristek terkait standar kelulusan
Salah satu sumber permasalahan dunia pendidikan Indonesia adalah terlalu ambisius- dan ketat-nya kontrol pemerintah akan segala aspek penyelenggaraan universitas — mulai dari level kemahasiswaan, kepangkatan, kepemimpinan, sampai administrasi.
Jumlah universitas di Indonesia yang sangat banyak (4600+), dibandingkan dengan negara seperti Tiongkok (2500+) yang berpenduduk lima kali lipat, serta kualitas universitas yang amat jomplang, sangat kontras dengan keterbatasan anggaran, sumberdaya dan infrastruktur didalam Kemdikbudristek. Akhirnya kebijakan-kebijakan yang dihasilkan terkesan reaktif, ad hoc, dan rentan dimanipulasi/dieksploitasi dilapangan. (re: joki skripsi, dan publikasi scopus). Kebijakan Kemdikbudristek dalam me-relaksasi kontrol terhadap universitas terkait syarat kelulusannya adalah kebijakan yang logis, pragmatis, bahkan positif.
Namun demikian: skripsi adalah sebuah proposisi intelektual sekaligus ruh dari universitas itu sendiri.
Didalam budaya demokrasi, sebuah universitas berfungsi untuk mencetak warga negara yang mampu berpikir sistematis — karena sebagai konstituensi, merekalah yang akan menentukan kompeten atau tidaknya pemerintahan. Itulah mengapa universitas, sebagai mikrokosme demokrasi itu sendiri, memiliki struktur layaknya sebuah negara—lengkap dengan perangkat senat, majelis wali amanat, dan eksekutif.
Skripsi, atau scriptio (latin)/essay (English), hakekatnya adalah sebuah ujian untuk mendapatkan status sebagai Sarjana/Bachelor (Inggris) atau Baccalauréat (Perancis). Gelar Baccalauréat lahir sekitar tahun 1808, setelah revolusi Perancis, sebagai upaya Perancis menciptakan masyarakat yang meritokratik dan egaliter — yang kuncinya adalah masyarakat yang mampu bernalar secara sistematis. Sebagian besar format ujiannya adalah essay (skripsi)
Kecuali kita melihat universitas hanya sebagai pencetak tenaga kerja, maka skripsi tetap memiliki peran penting dalam menilai kualitas seorang Sarjana, apalagi dalam disiplin humaniora.
Penulisan skripsi di Indonesia, sebagai syarat ke-Sarjanaan, kini marak dikotori oleh praktek perjokian, oleh korupsi yang bahkan terang-terangan. Skripsi sudah kehilangan ‘marwah’ dan fungsinya tidak lagi dihormati. Tetapi kita tidak lekas membubarkan institusi seperti DPR karena banyak anggota legislatif/partai yang korupsi.
Skripsi, atau kemampuan menulis essay, adalah bagian integral dalam perjalanan pendewasaan intelektual: menulis dan berpikir itu hakekatnya sama.
Dengan apa kualitas diuji?
Tidak semua Universitas di Amerika, maupun Inggris Raya mewajibkan penulisan tesis sebagai prasyarat kelulusan program Bachelor (setara S1), termasuk di University of Nottingham dimana saya mengajar. Namun demikian, kemampuan mahasiswa untuk menulis secara sistematis tetap menjadi kriteria penting, dan secara eksplisit terintegrasi dalam nilai ambang batas mata kuliah-mata kuliah yang ada. Kemudian untuk menjaga kualitas lulusan, dan menghindari korupsi, Universitas-universitas di UK menerapkan sistem telaah sejawat dimana seorang asesor independent, yang berasal dari Universitas lain, setiap tahun dilibatkan dalam menilai kualitas mata kuliah-mata kuliah yang ada. Di Inggris Raya, mahasiswa juga dilibatkan dalam penilaian kualitas sebuah program studi, dan Universitas secara keseluruhan, lewat survei nasional yang terintegrasi dalam program seperti Teaching Excellence Framework.
Demikian untuk jenjang S2 dan S3. Di Amerika publikasi di jurnal saintifik secara de-facto menjadi syarat kelulusan di banyak universitas. Di UK publikasi di jurnal eksternal bukan menjadi syarat kelulusan, karena sebuah disertasi sudah dianggap sebagai publikasi itu sendiri. Kembali lagi, esensi dari pengujian kualitas lulusan S3 di US dan UK hakekatnya adalah telaah sejawat oleh para Profesor, yang kompeten dibidang yang relevan, yang diselenggarakan secara adil, transparan, dan bebas konflik kepentingan.
Kata kata seperti disertasi, tesis, publikasi jurnal adalah isu semantik yang kadang membuat kita lupa akan esensi dari seorang Sarjana, Doktor, dan apa fungsi utama universitas.